UPAYA KONSILIDASI PERDAMAIAN DI PAPUA
Masalah
sosial budaya dalam kehidupan begitu nyata semakin hari masalah-masalah itu
timbul dengan banyak dan beragam dari kekerasan, paksaan, penggusuran dan lain
sebagainya. Era reformasi dimaksudkan untuk membangun Indonesia baru, yaitu
Indonesia yang demokratis, berkeadilan dan majemuk. Dengan reformasi kita
tinggalkan sepenuhnya seluruh budaya politik orde baru yang otoriterianis,
nepotis dan korup. Kita berharap spirit reformasi akan menggerakkan semangat,
pola pikir, perilaku dan struktur, serta sistem dalam penyelenggaraan negara.
Tetapi
semakin lama, kita semakin banyak menemukan kenyataan yang menjemukan. Proses
reformasi yang sedang berjalan saat ini membawa dampak yang kurang
menggembirakan. Kehidupan politik, dari hari ke hari semakin tak menentu arahnya.
Ada yang kecewa, dan bahkan ada yang mengatakan, reformasi telah mati. Tidak
ada yang bisa disalahkan. Semua itu adalah kesalahan pandangan bangsa terhadap
negara. Memang harus diakui, masalah yang kita hadapi amat kompleks. Sering
kali kita disodori berita-berita dan juga gosip-gosip tentang kebejatan moral di
kalangan elit politik dan pemimpin.
Ilmu
antropologi juga berperan penting dalam pembangunan, mereka melakukan
penelitian-penelitian mengenai perubahan sosial dan kebudayaan, hubungan antar
etnik atau suku bangsa, politik dan berbagai masalah sosial lainnya. Dalam
bidang sosial budaya, Indonesia juga belum menunjukkan hasil yang memuaskan.
Pada masa orde baru, tindakan-tindakan ancaman, kekerasan, paksaan,
penggusuran, teror, fitnah, vonis dan pembunuhan tanpa proses peradilan,
penculikan, diktator, menjadi bagian dari rezim orde baru. Menyikapi aneka
perilaku masyarakat yang cenderung mengedepankan kekerasan, terkesan bahwa
masyarakat kita sebagai suatu kebiasaan, yang bukan kejahatan, tetapi dijadikan
santapan sehari-hari dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup.
Karena
itu, Indonesia dicap sebagai negara yang paling banyak dilanda kekerasan
sepanjang beberapa tahun terakhir. Seperti penyiksaan manusia, pemerkosaan, dan
pembunuhan manusia, dalam kasus kekerasan, manusia dijadikan objek tontonan,
permainan dan penghinaan. Masalah rasisme di Papua adalah salah satu dari
sekian banyak masalah yang sering terjadi di Indonesia. Kita tidak perlu malu
mengakui, telah masuk budaya asing yang bersifat rasial, diskriminatif,
intoleran, dan sarat kekerasan ke dalam kehidupan masyarakat kita. Karena itu
sudah waktunya kita berupaya keras dengan segala upaya atau cara untuk
memperbaiki citra buruk yang dikotori oleh sebagian aksi kekerasan. Kita
prihatin dengan semua gejala diatas. Kita prihatin dengan arah kehidupan
demokrasi yang mulai mandek itu. Kita prihatin dengan kehidupan hukum yang
tanpa keadilan sekarang ini. Kita prihatin dengan langkah-langkah pemulihan
ekonomi yang tidak menentu. Kita prihatin dengan budaya kekerasan telah
diterima oleh sebagian masyarakat kita sebagai suatu kebiasaan, dan dijadikan
santapan sehari-hari dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup. Citra buruk
Indonesia sudah terjadi sejak lama, masa pemerintahan orde baru. Citra buruk
seperti ini masih berlanjut.
Kita harus malu bila krisis multidimensional seperti ini dibiarkan terus, maka bangsa ini akan hancur berkeping-keping. Karena itu mau tidak mau kita semua harus menyatukan komitmen mengambil langkah-langkah tegas. Ilmu antropologi sasarannya adalah kebudayaan atau kebiasaan yang melekat dalam segala aspek. Jika kita berbincang dengan ilmu sosial di Indonesia sekarang, kita sungguh-sungguh tidak dapat membicarakannya tanpa menghubungkannya dengan kebudayaan nasional. Jika kita menetapkan apa yang harus dikerjakan dalam ilmu antropologi di Indonesia, maka kita harus memperhatikan masalah yang dahsyat yang di hadapi Indonesia.
Masalah
yang paling dahsyat bukan terpuruknya ekonomi, melainkan manusia dan kebudayaan
masyarakat Indonesia sudah terpuruk ke jurang yang paling dalam mendekati
tingkat kebinatangan. sebagian dari bangsa Indonesia adalah serigala yang siap
menerkam saudaraya sendiri. Sementara itu, para pemimpinnya sebagian besar
orang-orang yang sebenarnya tidak layak menjadi panutan. Mereka tidak punya
hati akan penderitaan rakyat. Banyak orang mengatakan, di Indonesia tidak ada
lagi nilai-nilai persaudaraan, kebersamaan, kebudayaan masyarakat yang ramah
tamah serta saling hormat menghormati antara suku-suku yang lain. Menyimak hal
ini peranan ilmu antropologi di Indonesia bukan hanya mencari informasi,
membuat prediksi, melainkan memberi pencerahan, bahkan memberikan pemikiran
tentang jalan keluar atau krisis kebudayaan yang di alami oleh bangsa Indonesia
masa kini terutama kebudayaan Bhineka Tunggal Ika.
Setelah membunuh banyak warga sipil
tak berdosa, menembak mati sejumlah personil TNI dan Polri dan merusak sejumlah
fasilitas, lantas mereka mengancam akan membunuh orang Jawa yang tinggal di
Papua. Ancaman itu ditebar oleh kelompok
Organisasi Papua Merdeka (OPM) setelah pekan lalu pemerintah resmi
menetapkan Kelompok Kriminal Senjata (KKB)
Papua sebagai teroris.
Sebenarnya pemerintah bisa bersikap lebih tegas, karena
OPM kini tidak saja sebagai organisasi yang menuntut pemisahan diri Papua Barat
dari NKRI, tapi juga melakukan aksi-aksi kekerasan bersenjata, yang mengganggu
stabilitas pertahanan dan keamanan nasional di bumi Papua. Padahal dengan
sekedar melabeli status teroris dan kriminal kepada OPM, pemerintah otomatis
memiliki keterbatasan dalam mereaksi, setidaknya hanya memiliki wewenang
layaknya menumpas teroris di tempat-tempat lain di Indonesia.
Padahal, dengan aksi-aksi OPM yang semakin menjadi-jadi
belakangan ini, Pemerintah justru dibuat terkesan gagal menghadirkan negara di
sektor pertahanan dan keamanan di Papua, yang membuat legitimasi dan
reputasi Indonesia semakin buruk di sana. Pemerintah yang telah menetapkan
status “pemberontak” kepada pihak yang dituduh mengacau justru gagal
melucuti kemampuan pemberontakan mereka. Jadi jangan disalahkan jika
ada saja pihak yang meberikankan tuduhan bahwa instabilitas di Papua sengaja
dibiarkan seperti itu.
Justru dengan mengambil langkah minimal seperti melabeli
teroris, tapi secara diam-diam melakukan aksi militer, pemerintah akan semakin
menjadi sasaran kritik dari banyak pihak, karena melakukan pelanggaran HAM
secara diam-diam. Berbeda dengan bertahan dengan status pemberontak dan
separatis, yang mengharuskan Indonesia menyepakati sebuah aksi strategis untuk
mencegah terjadinya disintegrasi nasional, yang didukung penuh oleh semua
elemen bangsa.
Dan lebih berbahaya lagi jika pemerintah mengikuti
permintaan Benny Wenda untuk menyelesaikan persoalan Papua secara damai melalui
jalur diplomasi. Jika sampai disepakati, maka posisi bargaining power Indonesia dan Papua di ranah
nasional maupun Internasional akan sepadan, yang berarti secara de facto Indonesia mengakui eksistensi negara
Papua Barat merdeka yang diwakili OPM. Langkah ini akan semakin mempersulit
posisi Indonesia di pentas Internasional, terutama di PBB, yang notabene secara
hukum Internasional sudah ada di pihak Indonesia selama ini
Jadi sebenarnya langkah pemerintah yang kurang tegas akan
mempersulit pemerintah di kemudian hari, alias hanya menunda-nunda penyelesaian
konflik Papua, sampai ke rezim selanjutnya. Jika pemerintah tak tegas, maka OPM
dan Benny Wenda akan terus menuntut pemerintah untuk berunding melalui jalur
diplomasi di pentas Internasional, yang berarti Indonesia akan semakin
kekurangan kontrol dalam mengelola langkah-langkah penyelesaian konflik di
Papua. Namun di sisi lain, pemerintah juga nampaknya takut mengambil sikap
tegas karena takut berhadapan dengan isu HAM
Masalahnya, jika tidak tegas, maka prospek positif justru
ada di pihak OPM, karena berpeluang berujung di meja perundingan internasional.
Jadi pemerintah harus memilih langkah yang tepat, tapi juga strategis untuk
masa depan. Dan sebenarnya langkah itu sudah terbuka, karena ketua MPR, sebagai
perwakilan rakyat nasional, telah tegas meminta pemerintah untuk menindak tegas
OPM. Menindaklanjuti itu, Pemerintah perlu melakukan sosialisasi masif secara
nasional untuk mendapat dukungan penuh dari publik Indonesia bahwa OPM memang
pemberontak yang ingin mendirikan negara merdeka dan merusak persatuan dan
kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan adanya dukungan masif secara nasional, pemerintah
bisa mengumumkan pernyataan perang terhadap OPM, dengan target-target yang terukur
agar seminimal mungkin peluang terjadinya pelanggaran HAM terhadap warga sipil.
Artinya, targetnya haruslah OPM secara organisasional dan underbow-underbow-nya. Pernyataan perang ini akan
membuat OPM berada pada posisi musuh militer dan politik Indonesia, yang jika
tak melakukan penyerahan diri, maka harus bersiap menerima resiko, baik
politik, ekonomi, keuangan, dan militer.
Sementara di ranah internasional, pemerintah harus
melakukan containment strategy terhadap
OPM. Ruang-ruang OPM untuk melakukan diplomasi secara setara dengan Indonesia
harus ditutup, dengan dukungan dari negara-negara mitra Indonesia di PBB.
Indonesia harus meyakinkan publik internasional di PBB bahwa urusan Papua
adalah urusan internal Indonesia, bukan urusan publik Internasional. Artinya,
dengan mendapat legitimasi di ranah internasional bahwa urusan Papua adalah
urusan internal Indonesia, maka semua tindakan yang diambil Indonesia tidak
lagi bergantung kepada lembaga internasional seperti PBB, tapi murni ada di
tangan Jakarta.
China melakukan strategi semacam ini untuk isu Uighur,
Tibet, dan Hong Kong. Di ranah Internasional, bahkan negara-negara Timur Tengah
pun sangat jarang membahas kebijakan China atas Provinsi Xinjiang yang
berpenduduk mayoritas muslim Uighur, begitu pula dengan isu Tibet dan Hongkong.
China berhasil mengurangi peran Dalai Lama misalnya di pentas Internasional,
dan berani melakukan perlawanan diplomatik kepada negara-negara yang tidak
memperlakukan persoalan Tibet sebagai persoalan internal China.
Lalu soal Hong Kong. Saat China mengakhiri kesepakatan
“one country two system” di Hong Kong, yang seharusnya masih berlaku sampai
2047, dunia bergeming dan Hong Kong dengan mulus akhirnya menjadi bagian
dari Mainland China di tahun lalu. Dengan kata lain,
China berhasil melakukan negosiasi dengan banyak negara di lembaga-lembaga
internasional untuk mengakui bahwa persoalan Xinjiang, Uighur, dan Hong Kong
adalah masalah internal China dan Beijing berhak penuh memutuskan solusi yang
sesuai dengan kepentingan China untuk menyelesaikannya, tentu saja dengan berbagai feedback yang sepadan bagi negara-negara
mitranya
Jadi kembali ke persoalan Papua di ranah Internasional,
negosiasi untuk mendapat pengakuan semacam itu tentu memerlukan imbal balik
yang sepadan dengan negara-negara yang akan mendukung Indonesia di PBB,
terutama negara-negara besar seperti Amerika dan China. Semisal pemerintah bisa
mendapatkan dukungan penuh dari Amerika dan Israel untuk menumpas OPM dengan
cara Jakarta, jika Indonesia juga menormalisasi hubungan diplomatik dengan
Israel, misalnya. Jika itu terjadi, maka otomatis negara-negara sekutu Amerika
juga berpeluang akan mengikuti langkah Amerika, bahkan akan diikuti oleh
negara-negara Timur-Tengah yang bermitra strategis dengan Amerika seperti Saudi
dan UEA.
Langkah tersebut kemudian harus diikuti dengan kebijakan
ekonomi di Papua. Pemerintah harus membangun Papua lebih serius lagi.
Selain infrastruktur, kemiskinan di Papua masih tinggi, penganggurannya
pun tak berbeda, juga sama dengan tingkat ketimpangannya. Di saat yang
sama, masyarakat Papua terus menyaksikan kekayaan alamnya dikeruk
habis-habisan, hutan-hutannya ditebang, lahan mereka dipreteli, dan
uangnya entah kemana.
Dengan kondisi itu, perlu evaluasi kebijakan ekonomi
dan fiskal untuk Papua, agar keberadaan negara Indonesia bisa mereka
rasakan manfaatnya. Bagi hasil pajak wajib diteruskan, namun dana otsus perlu
disempurnakan penyalurannya, agar tidak hanya dinikmati oleh segelintir
elit lokal. Aktifitas-aktifitas ekonomi bisnis harus melibatkan
masyarakat setempat, jika SDM nya belum memadai, maka wajid diupayakan
agar segera memadai.
Dan setelah itu berlanjut kepada kebijakan sosial budaya,
pengembangan mentalitas, dan perlindungan lingkungan. Pemerintah
harus lebih agresif ketimbang organisasi nirlaba atau
gereja. Alokasi fiskal untuk pembangunan sosial dan pengembangan
budaya harus ditetapkan secara proporsional, seiring dengan anggaran
pelestarian lingkungan dan penetapan aturan-aturan fundamental untuk menjaga
lingkungan. Tidak saja terkait dengan pelestarian budaya, tapi
juga pengembangan budaya yang membaurkan kearifan lokal dan kepentingan
ideologi nasional. Aturan-aturan terkait social order di
sana harus dijabarkan secara manusiawi dan bernuansa environmental, tidak saja atas pertimbangan
ekonomi, tapi juga atas pertimbangan keberlanjutan kebudayaan dan
lingkungan Papua.
Dan akhirnya, peran ilmu antropologi selain yang
disebutkan dalam beberepa point diatas adalah dengan melakukan pendekatan
antropologis. Dalam artian bahwa, mempelajari system kebudayaan masyarakat
setempat,guna mencari solusi atas masalah yang sedang dihadapi. Karena umumnya
budaya orang Papua sangatlah terbuka, sehingga diperlukan penjelasan tentang
suatu permasalahan. Dalam hal ini,mengenai alasan mengapa janji-janji banyak
yang tidak terjadi, begitu juga tentang mengapa terjadi pelanggaran HAM.
Sehingga terjadi kesimbangan dalam menyelesaikan konflik di Papua,serta dapat
memutus siklus konflik dan kekerasan di tanah Papua.
2 Responses to "UPAYA KONSILIDASI PERDAMAIAN DI PAPUA "
Good Job. Good start. Good Topic.
Aae sudah mulai kebiasaan intelektual yg jarang dipunyai generasi sekarang. Lanjutkan dan jangan berhenti.Memulis adalah jalan belajar yg sangat dahsyat. Karen amenukia kita pasti terus membaca ..terus mencari dan meneliti.
Jadikan moto Tulilah apa yg dikatakan dan katakan apa yg ditulis., Jadi alas semangat utk stay wrrting...thinking ..reading...speaking and listening.
Semangat e anak de Guru Frans Ebat mantan Guru saya di SDJ Lamba Ketang.
Hallo kk,terima kasih saya ucapkan atas dukungannya.Saya akan stay menulis,berpikir,membaca,dan juga belajar seperti yang ite katakan.Salam semangat buat iteππ
Posting Komentar