Melawan Rasisme Dari Sudut Pandang Antropologi
Kisah George Floyd mungkin menjadi kisah paling kelam
dalam beberapa minggu terakhir. Bukan saja karena dia meninggal (25 Mei 2020)
dengan cara yang tidak semestinya. Seorang polisi bernama Derek Chauvin,
terekam kamera sebagai polisi yang menaruh lututnya ke leher Floyd selama
beberapa menit. George sendiri saat itu ditangkap dan diborgol dalam keadaan
telungkup atas tuduhan menggunakan uang palsu di sebuah toko di Minneapolis,
Amerika Serikat (USA).
Rekaman peristiwa itu tersebar di media sosial.
Selanjutnya, peristiwa ini memicu perlawanan dari masyarakat Amerika. Mereka
yang merasa senasib dan mereka yang anti-rasis bergerak memprotes dan
terjadilah demonstrasi bergelombang.
Keluarga Floyd menyewa pemeriksa medis independen. Hasilnya, autopsi yang dilakukan menunjukkan penyebab kematian Floyd yang
berusia 46 tahun tersebut adalah asphyxiation atau sesak napas, yang
diakibatkan tekanan di leher. Pemeriksa medis dalam hasil autopsinya juga menambahkan,
bahwa ‘tekanan pada punggung’ dari polisi lainnya yang juga menaruh lututnya ke
punggung Floyd juga mengganggu pernapasan Floyd. Laporan kriminal terhadap
Chauvin menyebut bahwa Chauvin menekan leher Floyd dengan lututnya selama 8
menit 46 detik dan Floyd tidak bergerak selama 2 menit 53 detik.
Peristiwa itu benar-benar memilukan. Kasusnya belum
berhenti di situ. Demikian pula gelombang protes masih berjalan dan menjalar di
kota-kota lain di Amerika Serikat. Seluruh dunia juga mengutuk kejadian tersebut.
Kalau hanya melihat satu sudut kisah sedih George Floyd, tentu efeknya tidak
sampai menimbulkan sampai demonstrasi berjilid-jilid, menghabiskan energi semua
pihak. Apalagi seluruh dunia, juga Amerika Serikat, tengah menghadapi wabah
yang luar biasa, Covid-19 atau Corona.
Demonstrasi yang masih saja berlangsung itu sebenarnya
sebuah letupan ‘kemarahan’ yang sudah lama membara. Bagaimanapun, perjalanan
bernegara di Amerika Serikat tidak terlepas dari rasis. Rasialisme yang
‘tertidur’ dan meletus tiba-tiba tersebut, sudah diprediksikan banyak orang.
Peristiwa rasis di tengah masyarakat Amerika, di berbagai negara bagian,
seringkali muncul dan tentu membuat dendam bagi banyak pihak. Salah satunya,
adalah kematian George Floyd yang menjadi pemicunya, saat ini.
Apakah Rasisme hanya di Amerika saja? Sebenarnya
tidak. Rasis berkembang di berbagai negara. Kisah kelam rasis beriringan
dengan usia peradaban manusia. Tidak hanya di Amerika, tetapi di belahan bumi lain juga
pernah terjadi. Ingat, tetangga kita, Australia, memiliki sejarah hitam terkait
dengan Suku Aborigin. Negara-negara di Eropa juga pernah merasakan peristiwa
yang sama. Saat Hitler berkuasa, jangankan kulit hitam atau kulit berwarna,
mereka yang berkulit putih namun berbeda ras, tidak luput dari penghinaan.
Hanya Hitler dan rasnya yang unggul. Kaum Yahudi yang menjadi korbannya.
Negara di Eropa, pernah merasakan tindakan
rasisme terhadap pendatang, khususnya Afrika dan kulit berwarna (Asia). Mereka
memandang hina dan menganggap para pendatang (kulit hitam dan kulit berwarna)
yang merebut ladang pekerjaan penduduk asli (kulit putih). Konflik secara
terang-terangan ataupun secara tersembunyi seringkali terjadi. Rasisme terjadi di angkutan umum,
di lapangan terbuka, jalanan, public area, atau tempat lain. Tatapan menghina
dan merendahkan seringkali muncul, tanpa luapan kata-kata. Justru ini yang
harus diwaspadai, karena stereotype atau prasangka yang buruk atau negatif,
bila berlangsung lama dan terus-menerus, menjadi api dalam sekam.
Semboyan liberte, egalite, fratenite (kebebasan,
keadilan, dan persaudaraan) di Perancis lahir tidak begitu saja. Ada sejarah
panjang yang mengikutinya. Keinginan kaum liberan yang mendukung demokrasi dan
menggulingkan pemerintahan Kerajaan Perancis yang telah menindas rakyatnya.
Rakyat biasa mendapat perlakukan yang tidak manusia oleh kaum ningrat Kerajaan
Perancis. Tentu saja, di sini ada balutan rasisme dalam perlakuan kerajaan pada
rakyatnya.
Apakah persoalan rasisme di benua Eropa telah selesai?
Dalam skala besar, mungkin tidak dijumpai masalah rasisme? Sebagaimana
dikatakan Komedian Amerika Bill Burr (dia berkulit putih dan menikah dengan
perempuan keturunan Afrika), rasis yang sebenarnya itu senyap. Orang yang akan
berkata rasis, akan melihat sekeliling dulu untuk memastikan lingkungannya aman
dan tiada penolakan. Baru ungkapan rasisme keluar.
Banyak kisah soal rasisme di Eropa, terutama mereka
yang bepergian ke benua biru tersebut, dengan berbagai alasan. Berlibur,
sekolah, mengunjungi keluarga, menikah, berobat, bekerja atau lainnya. Ada
sebagian yang mendapatkan perlakuan yang berbau rasis, entah berbentuk tatapan
curiga atau ungkapan dengan kata-kata. Belum lagi bila mendengar, bagaimana
pemain sepakbola juga banyak yang mendapatkan perlakukan serupa, saat bermain
di tengah lapangan. Organisasi sepak bola, klub, dan semua yang berkepentingan
sudah banyak melakukan perlawanan dan kampanye anti-rasis. Nyatanya, tetap saja
ada, meski dengan tensi yang terus menurun. Itulah kenyataan, di mana sebuah
benua yang dianggap berbudaya tinggi, masih saja ada rasisme.
Contoh penolakan rasis di dunia sepak bola ditunjukkan Bayern Munich saat laga perdana pasca pandemi Covid-19. Sebelum kick off di BayArena, Leverkusen (6 Juni 2020), Si Merah (Bayern Munich) melakukan pemanasan sambil mengenakan kaus khusus bertulisakan pesan anti rasisme. Yakni, “Rot Gegen Rassimus” dalam bahasa Jerman. Artinya, Si Merah Melawan Rasisme atau dengan kata lain, Bayer Munich menolak rasisme. Bersamaan dengan itu, tagar yang tengah kencang berkibar juga dipasang, #BlackLivesMatter. Nyawa orang kulit hitam itu berarti. Slogan BlackLivesMatter berkembang menjadi AllLivesMatter, setiap nyawa orang itu berharga.
Bagaimana
dengan Indonesia?
Melihat Indonesia, dengan segenap keanekaragaman agama,
budaya, dan tradisi, tentu ada kebanggaan hancur bila kita tidak ikut berupaya
mempertahankannya. Saling menghormati dan menjaga harus diupayakan bersama.
Tidak boleh ada perlakukan saling mengejek dan merendahkan.
Musuh dari ‘berbeda’beda namun satu juga’ rakyat
Indonesia adalah stereotype atau prasangka negatif. Saat seseorang atau
sekelompok pribadi terjebak pada prasangka (buruk/negatif), yang terjadi adalah
penilaian buruk pada orang atau sekelompok pribadi lain. Ini berbahaya, bila
dikaitkan dengan keragaman budaya dan tradisi tersebut. Karena, yang akan
muncul adalah penilaian buruk, pelecehan, dan skala besar adalah rasis, dengan
memandang budaya lain lebih rendah.
Berbicara mengenai Indonesia, sebenarnya presiden
pertama, Ir. Soekarno cukup visioner. Bung Karno-sapaan akrab Soekarno, sudah
tepat menciptakan tujuan bersama bangsa Indonesia, sesuatu yang lebih besar
alias ultimate goal. Di balik itu tentunya agar tidak ada saling merendahkan
perbedaan budaya yang ada. Dalam psikologi sosial, strategi tersebut dinamai
Realistic Conflict Theory (Baron), yang menyatakan persaingan antara in-group
dan out-group secara otomatis akan terjadi antara subkelompok selama
sumber-sumber terbatas dan tidak ada sebuah tujuan bersama. Makanya, Bung Karno
memilih membuat tujuan bersama bangsa ini, daripada mempermasalahkan
perbedaan-perbedaan ada.
Bila ultimate goal sebagai identitas politik dan
ekonomi tidak lagi menjadi tali pengingat yang kuat, Indonesia akan kembali ke
model lama. Yakni, berdasar ikatan etnik (dan agama). Padahal ikatan model ini
rentan terceraii-berai. Keterikatan berdasar identitas entik menimbulkan saling
prasangka antaretnik yang menghambat proses alkulturasi bangsa ini.
Contoh prasangka dan konflik antaretnik di Indonesia
cukup banyak. Salah satunya yang terjadi pascareformasi, adalah konflik antaretnik di
Kalimantan Barat (Dayak dan Melayu, versus Madura) yang mencapai puncaknya pada
tahun 1999 dan 2000. Ribuan orang terbunuh dengan sangat kejam, harta-benda dan
hak milik msunah dibakar, dijarah, atau dirusak. Ratusan ribu jiwa dari etnik
Madura terlunta sebagai pengungsi di berbagai kota sampai beberapa tahun. Mulai
dari Singkawang, Pontianak, Surabaya, dan Pulau Madura.
Peneliti D. Ramadhan (2001) menyebut, pertikaian etnik
itu memang sudah berjalan sejak 1933, terjadi 14 kali kerusuhan besar sejak
1950, antara etnik Madura versus Dayak. Dari situ, para sosiolog yang
mengembangkan teorinya. Misal, Chang (2000) mengenalkan teori kesenjangan
sosial. Etnik Madura lebih maju secara sosial-ekonomi dibanding etnis lain.
Teori kedua, menurut Al Qadri, 1999) adalah eksklusivisme dalam bingkai
masing-masing etnis. Sedangkan Antropolog Parsudi Suparlan (1999) melihat tidak
ada budaya yang dominan, sehingga masing-masing etnis erus menerus
mengembangkan adat dan tradisinya masing-masing.
Lain halnya dengan Psikolog S.H.Schwartz (1994) yang
mengenalkan teori nilai motivasi. Menurutnya, ada 56 nilai motivasi yang bisa
dikelompokkan dalam 10 nilai motivasi yang lebih besar. Dari 10 nilai motivasi
tersebut, terpola dalam dua kutub, dimensi pertama, adalah openness to change
(terbuka pada perubahan) versus conservatism (keengganan terhadap suatu yang
baru), dan dimensi kedua adalah self-transcendence (ingin menyatu dengan
lain) versus self-enhancement (ingin maju sendiri).
Dalam konteks psikologi sosial, prasangka bisa
didefinisikan sebagai suatu sikap yang cenderung ke arah negatif, ditujukan
kepada anggota dari suatu kelompok tertentu (Hanurawan, 2010). Orang yang
memiliki sikap yang cenderung ke arah negatif tersebut bila bertemu dengan
orang orang yang termasuk menjadi anggota suatu kelompok tertentu akan
cenderung melakukan penilaian berdasarkan pada karakteristik kelompok mereka
(Baron dan Byrne, 2004).
Bisa dilihat di kehidupan kita, bagaimana fenomena
prasangka adalah prasangka etnik terkait karakteristik seseorang. Pernah kita
mendengarkan, bahwa orang Jawa yang diyakini kelompok etnik lain di Indonesia
sebagai kelompok masyarakat yang memiliki ciri-ciri kurang terbuka, lambat
bicara, kolektivitas, dan suka basa-basi. Demikian juga saat melihat orang
Batak, dari kelompok suku lain menilai sebagai orang yang keras, bicara keras,
tidak suka basa-basi, atau etnis Papua yang dianggap sebagai pemalas, suka
mabuk, dan lainnya. Penilaian atau prasangka tersebut juga muncul pada
suku-suku lain. pada suku Sunda, Orang Melayu, Dayak, Sulawesi, Madura, Bali,
hingga Maluku. Selalu ada penilaian yang negatif atas mereka, di mana semua itu
adalah stereoptipe atau prasangka.
Prasangka semacam itu membahayakan kehidupan
antarkelompok yang harmonis dalam masyarakat Indonesia yang bervariasi latar
belakang budaya, latar belakang etnik, latar belakang gender, latar belakang
strata sosial, ekonomi dan latar belakang bahasa. Peneliti Linch (1987)
menjelaskan, terjadinya prasangka dalam diri seseorang timbul disebabkan proses
sosialisasi dan inkulturasi yang bersifat kompleks di mana sesesorang
memperoleh nilai-nilai, pengetahuan, sikap-sikap, dan perilaku yang memotivasi
mereka untuk memberlakukan orang lain dari kelompok berbeda secara berbeda dan
tidak adil. Terkait kondisi di Amerika saat ini, tidak jauh berbeda dengan
hasil eksperiman yang dilakukan Kaiser dan Pratt-Hyatt pada tahun 2009, di mana
hasilya ada kecenderungan tingkat prasangka lebih tinggi orang kulit putih
terhadap orang kulit hitam, dan sebaliknya, orang berkulit hitam terhadap
mereka yang berkulit putih.
Pendidikan
Multikultural Menjadi Kunci
Persoalan rasis bukanlah persoalan sepele. Semua harus bertekat kuat untuk meredam dan mengubur dalam-dalam benih rasisme dalam segala aspek. Salah satu yang bisa diandalkan adalah dengan menerapkan pendidikan multikultural.
Apa itu pendidikan multikultural? Pendidikan multikultural adalah suatu sistem pendidikan yang menerapkan kebijakan pendidikan dan praktik kependidkan yang menerima dan mengafirmasi perbedaan-perbedaan antar manusia dan persamaan-persamaan antar manusia. Ini melibatkan banyak aspek. Seperti gender, handicap (cacat), etnik, dan kelas sosial.
Peneliti Slavin (2006) menguraikan, pendidikan
multikultural adalah segenap kebijakan pendidikan dan praktik pendidikan yang
memberikan kesempatan peningkatana hasil-hasil pendidikan kepada segenap siswa
yang berasal dari berbagai latar belakang kebudayaan. Seperti latar belakang
etnik, kelas sosial, agama, gender, dan kebnutuhan-kebutuhan khusus (penyandang
retardasi mental, anak lemah pendengaran, dan anak berbakat).
Mempraktikkan pendidikan multikultural harus didahului
dengan memahami tentang perkembangan prasangka dalam diri anak adalah sesuatu
penting. Pentingnya pemahaman ini karena banyak penelitian yang menunjukkan
rasisme, diskriminasi, dan perilaku lain yang mengandung di dalamnya bias
etnis, dan biasa budaya dapat menyebabkan gangguan yang signifikan terhadap
perkembangan maksimal prestasi siswa.
Untuk mempraktikkan pendidikan multikultural, bisa
menggunakan teori kontak hipotesis atau contact hypothesis theory. Teori ini
merupakan salah satu pendekatan yang paling tepat dalam konteks pengurangan
prasangka siswa. Ada dua faktor yang membantu proses pengurangan prasangka.
Pertama, kontak yang intensif dengan anggota-anggota kelompok yang berbeda dari
keanggotaan kelompok dirinya. Kedua, pengembangan identitas kelompok sosial
individu tanpa mengembangkan sikap bermusuhan pada angota kelompok lain. Dengan
kata lain, upaya menerapkan teori tersebut agar setiap orang menghormati
identitas sosial kelompok lain. tidak ada orang atau kelompok yang lebih
(merasa) unggul dibanding orang (kelompok) lain, dan mereka menghormati
keberadaan orang (kelompok) orang lain, apapun perbedaannya.
Desegregasi
Sebagai Solusi
Dalam kehidupan bermasyarakat, tentu rasis berkembang karena prasangka-prasangka yang hadir. Prasangka negatif sesesorang tidak muncul instant, namun berjalan terus-menerus akibat informasi yang mereka peroleh. Kebetulan, informasi yang mereka dapatkan memiliki tone negatif, dan seseorang tersebut tidak berupaya melakukan konfirmasi dan hanya menelan mentah informasi buruk tersebut.
Bila ini terjadi pada suatu kelompok atau sebuah komunitas, prasangka negatif itu membesar dan menjadi rasis, sebagaimana terjadi di berbagai tempat di belahan bumi ini. Apa solusi bagi masyarakat modern dalam menekan rasisme?
Kembali ke Amerika, dulu pascaperang saudara dan
perang dunia, perlakuan diskriminasi masih terjadi di dunia pendidikan. Saat itu,
Negara Paman Sam ini sebenarnya telah mengakui persamaan hak antara warga kulit
putih dan kulit berwarna. Realitasnya, masih saja ada pemisahan sekolah umum
(negeri) yang tidak mendukung prinsip keadilan dan kesetaraan tersebut.
Permasalahan kualifikasi anak dalam dunia pendidikan
semata-mata karena perbedaan ras akan menghasilkan perasaan rendah diri. Status
mereka dalam kelompol bisa memengaruhi perasaan dan pikiran mereka. Perasaan
rendah diri pada anak kulit berwarna akan membuat mereka kehilangan motivasi
belajar. Bahkan, perasaan itu menghambat perkembangan mereka dalam pendidikan.
Kenapa? Karena adanya perbedaan perlakukan dan manfaat yang diterima dari
sistem pendidikan.
Pemerintah Amerika kemudian mengatur hal tersebut.
Upaya menekan pengelompokan yang menimbulkan rasisme mulai dilakukanlah.
Lahirlah apa yang dinamakan konsep desegregasi atau pembauran. Desegregasi
diberlakukan, sebagai sebuah kewajiban dan sukarela. Tujuan utamanya,
mengurangi isolasi rasial antarwarga dan membuat relasi antara kelompok putih
dengan kulit berwarna menjadi lebih baik.
Dalam perkembangannya, para ilmuwan sosial mengubah
upaya mereka untuk mengembangkan proses desegregasi yang lebih efektif, yaitu
dengan menekankan kesetaraan status, melalui situasi pembelajaran kooperatif.
Peneliti Elliot Aronson dan Osherow (1980) merintis pendekatan baru untuk
pendidikan yang sebelumnya terisolasi dan berkompetisi dengan merancang kelas
yang kohesif dan kooperatif. Dua orang itu merujuk pandangan Gordon Allport
(1954) yang menyatakan, untuk mengurangi prasangka antara anggota dan kelompok
masyarakat membutuhkan tiga hal, yaitu status hubungan yang setara, yang
ditujukan untuk tujuan bersama, dan didukung pihak otoritas atau pola
kelembagaan lainnya.
Oleh Aronson dan Osherow, tiga kondisi yang
diungkapkan Gordon tersebut dikembangkan menjadi skema yang disebut teknik
jigsaw. Dengan teknik jigsaw, penelitian menunjukkan bahwa teknik ini
mempertahankan keinginan siswa untuk bersekolah dan meningkatkan rasa suka
kepada anggota kelompok, muncul harga diri, keinginan bekerja sama, dan lahir
keterbukaan untuk belajar dari siswa lain. Hasil lain dari penelitian tersebut
adalah meningkatnya prestasi sekolah pada siswa minoritas. Pada kelompok
mayoritas (siswa kulit putih), prestasi relatif stabil.
Dari penelitian tersebut, tentu bisa dikembangkan dan diadaptasi pada masyarakat luas. Sebagaimana Negara Indonesia yang rentan terhadap ‘meledaknya’ rasisme. Beragamnya suku dan ras di negara ini, yang kemudian saling menyepakati untuk satu dalam naungan pertiwi ini tentu saja cukup membanggakan. Di sisi lain, ada juga kekhawatiran bila tidak tidak ada kesadaran bersama. Banyaknya agama dan aliran kepercayaan ini menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang besar, dengan kekhawatiran mudah dipecah-belah.
Desegregasi bisa menjadi pola dan solusi bersama masyarakat Indonesia. Saat upaya desegregasi atau pembauran tidak muncul, akan lahir wilayah-wilayah yang terbagi-bagi. Lama-kelamaan, tingkap heterogenitas sebuah wilayah berubah menjadi homogen. Homogenitas sebuah wilayah sebenarnya menjadi awal perpecahan sebuah wilayah. Contoh nyata, semakin banyak sekolah yang tingkat heterogenitas cukup rendah. Semisal, sekolah negeri yang didominasi etnis tertentu dan dominasi agama tertentu. Ini baru sekolah. Contoh lain, munculnya perumahan elit yang didominasi etnis Tionghoa, perumahan yang dikhususkan untuk masyarakat muslim, perumahan dengan homogenitas satu agama, dan masih banyak contoh lain. Kecil mungkin, dan bisa jadi tidak akan berpengaruh dalam jangka pendek. Namun, upaya homogenitas yang berlangsung terus-menerut melawan desegregasi atau pembaharuan yang dianjurkan pemerintah sangat berbahaya. Ingat, dari sedikit demi sedikit akan menjadi bukit. Dari hal-hal kecil tersebut memunculkan rasialisme yang berkembang di bawah tanah namun laten. Begitu ada pemicunya, pasti muncul rasisme yang menjadi musuh bersama.
BACA JUGA: 'Sebaiknya Aku Api' Sebuah Antologi Puisi
0 Response to "Melawan Rasisme Dari Sudut Pandang Antropologi"
Posting Komentar